fbpx

Masyarakat Tradisi Didalam Dinamika Kekuasaan Di Indoneisa

TENTUNYA dengan keanekaragaman hukum dan formalitas didalam Masyarakat Adat, banyak berlangsung dinamika Sosial dan Politik dengan kekuasan Negara. Terlebih lagi, proses politik di Indonesia yang cenderung berwujud sentralistik atau terpusat.

Dalam keanekaragaman tersebut, terkandung formalitas dan hukum yang dianut oleh masyarakat Adat yang tentu saja berlainan dengan Hukum Negara. Bahkan, dua perihal ini seringkali slot kakek tua saling berbenturan dikarenakan ada konflik kepentingan.

Permasalahan ini menurut aku sangat menarik untuk dibahas, dikarenakan eksistensi kehidupan Masyarakarakat Adat seringkali cuma diangkat sebagai objek rasa penasaran dan hiburan. Sedangkan bagaimana peran dan regulasi kebijakan Negara didalam menjamin keberlangsungan hidup Masyarakat Adat kurang mendapat sorotan dari fasilitas umum.

Jika kami menyaksikan masalah ini dengan memakai perspektif filosofis dari teori kekuasaan Michel Folcault, Ia menunjukkan bahwa kekuasaan adalah style strategis canggih didalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah dan tidak serta merta menjadi punya orang-orang spesifik lewat kesepakatan tertentu.

Foucault menjelaskan “Bahwa kekuasaan pertama-tama harus paham bahwa banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kapabilitas yang menempel pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya bakal mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu lewat perjuangan dan pertarungan terus-menerus”.

Itu sebabnya, bagi Foucalult, kekuasaan tidak berwujud berasal dari ada kekuasaan terpusat yaitu negara. Kekuasaan tidak dipahami sebagai perlindungan dari negara. Sehingga pemahaman tentang kuasa cuma bisa dikenakan pada presiden atau seorang raja didalam negara. Kekuasaan itu ada pada tiap orang dikarenakan itu kekuasaan itu lebih terkait dengan bagaimana trik untuk berkuasa.

Foucault mencoba mengartikan ulang kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya: kekuasaan tidak bisa dilokalisir, melainkan merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi susunan kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta menempel pada tekad untuk mengetahui.

Lalu bagaimana dengan Kekuasaan Negara pada Masyarakat Adat di Indonesia?

Jika kami menyaksikan dinamika masalah antara masyarakat tradisi dan kekuasaan di Indonesia. Konflik yang berlangsung di dominasi oleh perampasan lahan dan eksploitasi besar-besaran oleh korporasi dengan mengantongi izin dari Pemerintah dengan dalih untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Seperti yang berlangsung di Papua, laporan Yayasan Pusaka pada September 2019 menyebut kawasan hutan di Merauke dan Boven Digoel yang dialihkan menjadi kebun sawit udah menggusur sumber pangan masyarakat adat, merasa dusun sagu, dusun buah, tempat berburu hewan liar, sampai tempat keramat dan sakral yang punyai peran sosio-religius bagi masyarakat adat.

Tanah tradisi di kawasan hutan Papua yang beralih dari masyarakat ke perusahaan kini udah menjadi kebun sawit. Hingga 2019, ada 1.389.956 hektare kebun sawit di Papua dimiliki 52 perusahaan. Sebanyak 1.082.505 hektare di antaranya dimiliki 42 perusahaan di kawasan hutan dan udah mengantongi surat pelepasan dari pemerintah Indonesia. Akibatnya, berlangsung deforestasi besar-besaran alias penghilangan slot garansi 100 hutan seluas 228.510 hektare pada 2019, didominasi lokasi Merauke dan Boven Digoel.

Dalam masalah lain yang berlangsung Jambi, kira-kira 200 dari 3.500 bagian suku Orang Rimba atau Anak Dalam di Jambi ganti dari animisme dan masuk Islam supaya hidup lebih sejahtera dan memperoleh kartu identitas masyarakat atau KTP. Mereka bukan sebatas ganti atas keinginannya sendiri, melainkan dikarenakan mereka merasa melacak makan tambah susah di sedang konflik dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di tempat yang ditinggali suku ini. Lebih detail, apalagi pemimpin suku mereka menjelaskan bahwa perpindahan kepercayaan merupakan sesuatu yang terlarang bagi formalitas mereka. Menurut Rukka Sombolinggi, Koordinator of Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menjelaskan kondisi suku pedalaman seperti ini berlangsung dikarenakan pemerintah tidak menambahkan perlindungan selayaknya.

Itu sebatas dua masalah dari sekian banyak masalah Masyarakat Adat yang berlangsung di Indonesia. Bahkan didalam lebih dari satu masalah di warnai oleh tindakan represif Aparat Negara untuk mengawal Korporasi.

Padahal, berdasarkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, Negara mengakui dan menjunjung kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tradisi beserta hak-hak tradisionalnya. Selain didalam Pasal 18B Ayat (2), Negara termasuk menjamin penghormatan pada identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang selaras dengan pertumbuhan zaman dan peradaban (Pasal 28I Ayat (3)) serta yang penghormatan pada kebudayaan dan Bahasa tempat yang berkembang di masyarakat (Pasal 32 ayat (1) dan (2)).

Namun sayangnya, UU itu sebatas sebatas postingan diatas kertas, tanpa ada sebuah implementasi. Ini sangat sangat disayangkan, kekuasaan tradisi di Masyarakat Adat tiidak dipandang sebagai kekuasaan mikro yang terkait dengan trik kekuasaan secara makro oleh Negara untuk terciptanya kehidupan bernegara yang harmoni dan produktif, seperti apa yang Foulcault katakan.

Dominasi Negara yang sangat kuat membuat penderitaan bagi keberlangsungan hidup Masyarakat Adat. Jangan sampai keanekaragaman yang senantiasa kami narasikan sebagai suatu kebanggaan menjadi Indonesia menjadi ternodai.

Gejolak Investasi korporasi untuk pertumbuhan ekonomi yang menjadi alasan Pemerintah untuk pakai lahan tradisi dan agraria sesungguhnya merupakan masalah yang penting. Namun, Hak Asasi Manusia slot bet kecil dan Lingkungan termasuk merupakan variabel yang tidak kalah perlu supaya harus dipertimbangkan didalam penegakan kebijakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *