fbpx

Ironi Di Balik Kasus Penyalin Sinar Dan Kampanye Anti Kekerasan Seksual Dalam Industri Perfilman

Penyalin Sinar (2021) adalah film garapan Wregas Bhanuteja yang mengangkat kabar kekerasan seksual. Film yang berhasil memborong 12 piala citra ini banyak mendapatkan tanggapan positif dari kritikus film sesudah melanglang buana di sejumlah festival.

Wregas dalam debut film panjangnya menyebutkan seorang mahasiswi baru penerima beasiswa bernama Sur yang mencontoh sebuah pesta perayaan dan terbangun sesudah tak sadarkan diri di pesta. Kekacauan terjadi sesudah pesta hal yang demikian, Sur seharusnya rela kehilangan beasiswanya sebab foto upload-an saat dirinya sedang mabuk beredar. Film ini akan menerangkan perjalanan Sur dalam slot gacor hari ini mencari kebenaran atas kejadian yang menimpanya di malam itu.

Di tengah antusiasme masyarakat menantikan penayangan Penyalin Sinar, terbongkar info buruk yang melibatkan pembantu penulis dari film ini. Diberitakan bahwa sang pembantu penulis yang bernama Henricus Pria pernah menjalankan kekerasan seksual, walaupun Penyalin Sinar sendiri adalah film yang membahas kekerasan seksual.

Regu film Penyalin Sinar merilis janjinya untuk memberikan ruang aman dan akan senantiasa berpihak pada penyintas. Kecuali itu, regu produksi kerja sama Rekata Sanggar dan Kaninga Pictures setuju menghapus nama terlapor dari kredit Penyalin Sinar. Henricus Pria sendiri sekarang telah tak menjadi komponen dalam film Penyalin Sinar ataupun Rekata Sanggar.

Berdasarkan Shifa Fauziah Ahzahroh, sutradara dan penulis film BUNGKAM, peniadaan nama Henricus Pria dari kredit film adalah perbuatan tegas, namun dia meragukan perbuatan hal yang demikian akan membikin pelaku kapok.

“Berdasarkan aku, dengan dihapusnya nama penulis skenario Henricus di credit title adalah sebuah wujud perbuatan tegas oleh pihak hal yang demikian. Tapi, apakah hal hal yang demikian akan membikin pelaku kapok?” kata Shifa dikala diwawancarai LPM Opini pada Kamis (18/01).

Dia lebih sependapat bila pelaku dihukum pantas dengan perundang-undangan supaya hal seperti ini tak terulang lagi, terutamanya dalam dunia perfilman.

“Sebab aku akan lebih sependapat bila pelaku dihukum pantas dengan perundangan-perundangan sedangkan telah beredar bahwa pihak perfilman hal yang demikian telah memberikan pernyataan sikap,” ujar Shifa.

“Jadi, aku berkeinginan bahwa pihak kepolisian malah memberi tindak tegas terhadap pelaku agar hal serupa tak terulang lagi dalam dunia perfilman terutamanya,” lanjutnya.

Shifa malah menghimbau untuk ikut memandang keadaan penyintas sebab cemas dengan pengaruh psikisnya. Khususnya Shifa mengasumsikan kemungkinan terburuk bila film hal yang demikian terinspirasi dari kisah pelaku yang akan menambah stress berat penyintas.

“Tapi, kecuali konsentrasi pada ganjaran pelaku, pada penyintas juga perlu diamati. Penyintas perlu diamati sebab pasti berakibat pada psikisnya,”

“Malah dugaan aku yaitu jangan-jangan film ini menyebutkan perihal penulis hal yang demikian yang memerlukan ide via hal-hal yang tak bagus, melainkan semoga saja tak,” ujar Shifa.

Shifa juga beranggapan bahwa kian banyaknya kasus kekerasan seksual, karenanya daerah berlindung bagi penyintas kian diperlukan untuk memberi pemulihan dan penyelesaian slot888 kepada kasus yang dialami oleh penyintas. Adanya daerah perlindungan menjadi sebuah langkah kongkrit dalam gerakan melawan seluruh wujud kekerasan seksual.

Gerakan Anti Kekerasan Seksual di Industri Showbiz

Sebagian gerakan kampanye untuk melawan kekerasan seksual di industri perfilman dan showbiz dibarakan oleh sejumlah klasifikasi. Di Indonesia, kampanye “Sinematik Gak Semestinya Toxic” yang diinisiatori oleh sembilan jenama di dunia perfilman Indonesia, merupakan Vauriz Bestika, Jonathan Pasaribu, Agus Mediarta, Albertus Wida Wiratama, Amerta Kusuma, Arie Kartikasari, Mazda Radita, Lisabona Rahman, dan Lintang Gitomartoyo sebagai respons kepada kekerasan seksual yang terjadi di industri perfilman. Gerakan ini menyediakan wadah pengaduan ke Komnas Perempuan atas pelecehan dan kekerasan seksual di industri perfilman tanah air.

Di Amerika Serikat, kampanye Me Too Movement atau gerakan #MeToo mengumandangkan sebagai langkah untuk melawan kekerasan seksual di industri showbiz via media sosial. Kampanye ini dijalankan dengan memposting pengalaman mereka sebagai korban kekerasan seksual dengan tagar #MeToo.

Kampanye anti kekerasan seksual lainnya yaitu tagar #ItsOkay yang diangkat oleh merek lip serum bernama Jiera. Gerakan #ItsOkay timbul sebab komentar sensual yang ditinggalkan oleh anonim terhadap influencer dan pengguna produk Jiera yang sedang mengulas produk.

“Berita mengenai kekerasan seksual benar-benar perlu disosialisasikan. Sebab hal ini dapat terjadi pada siapa saja bagus perempuan ataupun pria. Melewati film dapat diwujudkan langkah permulaan sosialisasi mengenai banyaknya kekerasan seksual yang dialami serta bagaimana caranya untuk menangani,” ujar Shifa.

Tapi, saat film dapat diwujudkan sarana sosialisasi mengenai kekerasan seksual, masyarakat justru kerap menganggap tema ini sebagai sesuatu yang tabu dan vulgar.

“Mungkin dikatakan tabu itu saat pengemasannya yang dievaluasi tak senonoh, seumpama dari judul atau adegan pada filmnya. Tapi, bila bisa memahami dengan bagus, hal-hal yang dianggap seperti itu akan tak ada. Pastinya dalam dunia perfilman dalam mempersembahkan makna film mempunyai tujuan terhadap penontonnya,” terang Shifa.

Shifa menghasilkan filmnya sebagai figur. “Seumpama yaitu BUNGKAM yang sebenarnya yaitu salah satu cerita yang mengangkat penyintas bernama Sekar untuk survive dikala sesudah mengalami pelecehan seksual,” katanya.

Terlepas dari info buruk yang menimpa film Penyalin Sinar, Shifa mengevaluasi film ini cocok ditonton sebab kabar yang diangkat menarik dan membuktikan keadaan dikala ini. Alur yang disebutkan benar-benar padat dan saling berhubungan. Film ini bisa membuktikan cerita dari sisi orang tua, sahabat, dan tokoh utama yang bersemangat untuk membongkar fakta. Di dalam Penyalin Sinar juga terdapat banyak slot demo wild west gold sindiran yang dimaksudkan terhadap pekerja seni, pihak kampus, dan kasus DBD yang tidak kunjung berakhir. Film ini malah diakhiri dengan adegan aksi simbolik berupa penyebarluasan kertas yang sudah dituliskan kata-kata oleh penyintas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *